ARIFIN PANIGORO
RAJA MINYAK YANG AKTIF DI POLITIK
Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang
perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika
reformasi tengah hamil tua yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit.
Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan
mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR
Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos
di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to
door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu
bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa
besar, maka perusahaan asing yang
menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani
pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk
proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila
satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut
ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin
pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang
berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan
cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan
asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera
usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun
kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi
pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal
Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin,
tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang
menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina,
yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan. Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya
peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai
orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan
dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu
sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun
1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki
kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan
diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal
"bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal
berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka
300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung
terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan
kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet
Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun
bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu
bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang
proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990
Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan
normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan
dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya. Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap
ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar
AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac
Indonesia milik ExxonMobil, yang
sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco).
Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac
tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan
bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak
bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu
cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta
barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak
bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak
industri yang berteriak
kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia
menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan
sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya
tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU)
sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah
dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel. Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada
di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah
terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa
0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas
Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang
salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah
memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di
Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa,
khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan
mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di
Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi
atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk
memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat
dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah
kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati,
Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih
banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi
atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha,
ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya. Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian
dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa
kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak.
Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan
uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal,
meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih
di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi
mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan
dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari
pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian
korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal
hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah. Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah
ketika partai-partai baru bermunculan tahun
1998-1999 setelah lengsernya
Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat
yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap
menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP,
Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di
jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP
MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak indekos di
partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai
politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan,
kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut
tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara
perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya
akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih
belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non- partisan, meskipun
belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai
baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang
lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan
PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau
mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak- enak. Mungkin enam bulan
istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan
politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang
yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang
berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur.
Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas
pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua
Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah
pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian
kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa
dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan
menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco
bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi
Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah
dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua
aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak
pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut
kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal
untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik
yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa
itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam
diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak
bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan
yang akan ditujunya kemudian.
No comments:
Post a Comment